MEDAN – Ada beberapa alasan masyarakat terjebak menyebarkan berita bohong atau hoaks. Di antaranya, gengsi bermedsos ria, pengguna medsos merasa naik gengsinya bila paling awal menyampaikan informasi seksi, hangat, dan aktual tanpa menyadari kebenarannya.
Demikian dikatakan Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi “Pembangunan” (STIK-P) Medan, Dr H Sakhyan Asmara MSP, saat menjadi narasumber pada Seminar Nasional ‘Melawan Hoaks di Tahun Politik 2024’ yang digelar Ikatan Sarjana Komunikasi (ISKI) Sumut di Aula Fisip USU, Kamis (24/8).
“Lalu, mendapatkan kepuasan karena informasi yang disebar sesuai dengan keinginannya, perasaannya, apakah dan bentuk kebencian ataukah dalam bentuk dukungan. Karena pada dasarnya ciri informasi hoaks yakni hangat, seksi, aktual, provokatif, menakutkan, menyedihkan, menggembirakan (lucu) atau membakar semangat penonton/pembaca,” lanjut Sakhyan.
Menurut KBBI, hoaks adalah informasi bohong. Sementara itu, simpulan dari berbagai sumber, hoaks adalah suatu perbuatan memanipulasi informasi, mengaburkan kebenaran, dan mengubah kebohongan menjadi sebuah kebenaran palsu.
“Setiap individu juga memiliki beragam motif dalam menyebarkan hoaks. Sebut saja motif sosial, ekonomi, budaya, agama, hiburan, politik, dan lainnya. Begitu juga dengan tujuannya yang beragam seperti menghasut, memprovokasi, mencari kesenangan atau hiburan, sekadar hobi, mem-bully, black campaign, dan membuat resah,” tegasnya.
Lanjut Sakhyan, untuk membuat serta menyebarkan hoaks itu sendiri tentu ada teknik yang dipergunakan. Hoaks adalah kejahatan, karena itu setiap orang yang berniat berbuat jahat, selalu ada cara yang paling canggih agar kejahatan itu dapat dilakukannya.
“Di antaranya dengan membuat narasi informasi yang tidak benar, melakukan dubbing suara yang tidak sesuai antara narasi dengan gambar atau video, rekayasa visualisasi dengan cara menggabung gabungkan antara satu peristiwa dengan peristiwa lain yang sebenarnya tidak ada relevansinya,” terangnya.
“Lalu, membuat alur cerita dengan memotong bagian tertentu sehingga menimbulkan informasi yang tidak benar. Pernyataan yang satu digabungkan dengan pernyataan lain, yang sebenarnya bukan alurnya, tapi terpisah, namun disatukan, serta memposting video lama, kemudian membuat narasi baru, yang menimbulkan kesan seakan-akan video itu sesuai dengan narasi, padahal beda waktu dan beda konteks,” katanya lagi.
Di sisi lain, kata Sakhyan tentunya ada langkah antisipatif yang dapat dilakukan untuk mencegah penyebaran berita bohong. Pertama, jangan cepat percaya dan terperdaya menerima suatu informasi yang hangat, seksi, dan aktual.
“Lalu, jangan buru-buru share informasi sebelum mendapat kepastian tentang kebenarannya. Dan lakukan pengujian kebenaran melalui searching informasi dari berbagai sumber,” tutup mantan Sesmenpora RI tersebut.